Kamis, 13 November 2008



TOPI BULIS BUNDAR
Oleh: Jularso Raju


Topi saya bundar/ bundar topi saya/ kalau tidak bundar,/bukan topi saya”.
Siapapun pasti hafal nyanyian ini, karena sudah menjadi semacam lagu wajib yang turun temurun. Kalau pun tiba-tiba kita mendengar nyanyian ini diteriakan oleh anak kita, tetap saja akan terdengar biasa, nyaris tidak bermakna apa-apa. Hal itu karena lagu ini nyata-nyata tidak pernah mati, tidak juga tenggelam dan tergeser oleh lagu-lagu pop dan dangdut masakini. Jadi tidak perlu dihidupkan lagi oleh fikiran dan otak kita.

Tapi ketika suatu hari saya menjemput anak saya di taman kanak-kanak tempat ia bermain dan belajar, saya mendengar anak-anak menyanyikan lagu itu, dan anehnya syair lagu itu membawa saya melayang ke belakang. Lagu ini justru telah menghidupkan sesuatu dalam fikiran saya, membuat saya teringat hal yang sudah lama hilang. Topi.... ya...topi. Entah kenapa secara spontan otakku memplesetkan “topi saya bundar” menjadi topi bulis bundar/ bundar topi bulis/ kalau tidak bundar/ bukan topi bulis.

Bulis memakai topi memang intruksi kyai setelah banyak santri putra yang memasuki komplek putri mengaku bulis setiap ketangkap basah oleh senter kyai. Dengan topi, setiap bulis memiliki ciri yang nampak dan gampang dibaca. Inilah identitas yang benar-benar berfungsi sebagai identitas. Walaupun identitas ini dapat juga dipinjam oleh yang bukan petugas bulis yang kebetulan malam itu ingin mencari angin di ranah kaum hawa.

Bulis secara bahasa (kalau tidak salah nih) artinya polisi, pengertian umumnya “ronda malam” yang bertugas menjaga keamanan lingkungan di malam hari. Sekalipun secara bahasa berarti “polisi”, tapi kyai tidak mengintruksikannya untuk menggunakan ciri-ciri militer. Tidak seperti seragam beberapa ormas yang selalu memilih pakaian loreng untuk identitasnya. Mungkin karena bagaimana pun, identititas akan kehilangan fungsi sebagai identitas apabila telah dijadikan identitas oleh banyak orang/kelompok.
Ngomong-ngomong tentang pakaian dan identitas, kyai juga pernah menyindir bagian Diesel dalam sebuah pidatonya. Hal itu karena bagian diesel yang berkostum pegawai bengkel dengan pakaian werpark yang kumal penuh oli itu telah memilih identitas yang terlalu pasaran. Mungkin tidak harus begitu.

Di tengah peradaban seperti ini, pakaian secara umum telah menjadi identitas atau ciri fisik manusia waras, tetapi beberapa mode dan corak pakaian telah menjadi identitas kelompok manusia/masyarakat tertentu. Hanya saja dalam perkembangannya terkadang tidak nyambung antara pakaian dengan kualitas yang ada di baliknya. Banyak yang rambut dan stelan bajunya seperti seniman, sementara potensi seninya NOL besar. Ada yang berkostum kiai tapi kelakuannya keluar dari bingkai kiai. Tidak sedikit yang berkostum ilmuwan namun otaknya Pentium satu. Mahfodhot bilang: “Libaasukum yukrimukum qoblal julus wa ‘ulumukum yukrimukum ba’adal julus”. Pakaian atau identitas itu hanya mampu membuat kamu terhormat sebelum kamu duduk, sedangkan yang membuat kamu terhormat selanjutnya adalah ilmu dan potensi diri. Jadi kalau dulu sering pinjam topi bulis, sekarang jangan coba-coba pinjam identitas. Bahuaya....

Kembali ke topi tadi, rasanya ada banyak cerita yang dapat kita rangkai, diawali TOPI BULIS, atau dengan kalimat sambung TOPI BULIS, atau diakhiri TOPI BULIS, atau sekedar menyinggung TOPI BULIS. Siapa yang lebih dulu cerita? Silahkan kirim email ke
zetty_has@yahoo.co.id .
Akhir kata, marilah nyanyikan lagu: topi bulis bundar/ bundar topi bulis/ kalau tidak bundar/ bukan topi bulis.
###

2 komentar:

cecep mengatakan...

photo dan tulisannya Okey. yang pake topi bulisnya mana Jos?

Mr. Ed mengatakan...

wah, jaman saya udah gak pake topi bulisnya kak