Medio 1960-an, Pabelan bukan apa-apa. Cuma sebuah kampung kecil yang luput dari perhatian. Tak banyak yang mengenalnya. Sekadar kampung representasi kesederhanaan, bila bukan keterbelakangan.
Dalam pada itu, tampillah seorang putera daerah potensial. Seorang belia jebolan Gontor. Sesuai namanya, Hammam, ia seorang pegiat penuh semangat. Pemantik kebangkitan kampung Pabelan. Berawal dari kegiatan "nyeleneh," ia merintis sebuah pesantren "aneh" bagi kampungnya. Tak butuh waktu lama, pesantren Pabelan menjelma menjadi sebuah pesantren besar. Dikenal secara nasional. Memikat seorang sutradara untuk menjadikannya sebagai lokasi film Al-Kautsar.
Booming santri terjadi sejak awal 1970-an. Klimaksnya terjadi awal 1980-an. Antiklimaksnya awal 1990-an. Mungkin dekade 2000-an ini lagi mengalami revitalisasi.
Dalam perjalanan Pabelan yang dinamis semacam itu, sosok kuncinya tak lain adalah Syekh Hammam. Bagiku ia adalah seorang Guru Besar. Alias Professor. Alias Syekh. Ya, ia seorang guru besar nonformal yang mengundang rasa kagum, hormat, dan segan. I am grateful to him. My sincere thanks go to him.
Sebagai guru besar, ia telah melahirkan sejumlah murid besar. Mas Qomar, Mas Bahtiar, Mas Jamhari, Mas Hendro, Mas Logika, dan Mas AZ, untuk menyebut beberapa contoh saja. Mereka tersebar secara nasional. Mereka besar atas jasa guru besar ini.
Saking besarnya sebagai guru, ia nyaris sempurna di mataku. Meski terdengar kabar miring tentangnya, aku tak sanggup mengkritiknya. Aku merasa terlalu kerdil untuk mengkritiknya. Untuk soal kritik ini, kuserahkan saja pada murid-murid besarnya yang kini telah menjadi guru besar pula.
Aku hanya bisa berdo'a: Allaahummaghfir lahuu warhamhu wa'aafihii wa'fu 'anhu wa akrim nuzulahu wa wassi' madkhalahu wagsilhu bilmaa-i wassalji walbarad. Aamiin yaa rabbal 'aalmiin.
Dindin
Bandung
Jumat, 10 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Keguman Dindin pada sang Guru Besar adalah kekaguman saya juga, kekaguman semua santri, semua yang pernah interaksi dengannya.
Din, kau wakil kami dalam mengekpresikan kekaguman ini. tks.
kekaguman kami pada sang kyai rasanya tak cukup kata mewakili...tapi kami punya semangat...punya nurani....punya jiwa...punya nyali...tuk mencoba menjabarkan pelajaran dari sang guru besar kami...tentu dengan cara dan kemampuan kami masing2....
Ya Allah, doa kami, semoga guru kami tersenyum bahagia, menyaksika kami para murid sedang mencoba menerjemahkan banyak kata yang dulu beliau tuturkan...
Posting Komentar