Jumat, 17 Oktober 2008


*)Dongeng Kiyai:
MATI BERKALI-KALI
Oleh: Cecep Suhaeli*

Ada seorang lelaki yang bosan menjadi lelaki. Dalam pikiranya jadi lelaki itu ternyata melelahkan, ia harus bertanggung jawab untuk berbagai persoalan, mencari nafkah untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya “oh... kalau hidup harus begini terus.... MATI AKU..... Andai aku perempuan, tentu tak akan selelah ini”. ia pikir perempuan jauh lebih santai, enak dan tidak harus banting tulang mencari nafkah. Lalu berdoalah ia untuk dijadikan perempuan. Doa dikabul, jadilah ia perempuan.
“nah... begini kan enak....”
Waktu terus berjalan dari mulai hitungan detik, jam, hari,minggu, bulan, tahun hingga sampailah pada kenyataan bahwa ia harus menikah, melayani suami, lalu hamil selama sembilan bulan, melahirkan yang menyakitkan, punya anak. Selanjutnya tidak hanya mengurus suami, ia juga harus menyusui anaknya, merawat dan menjaganya, memasak, beres-beres rumah dan seterusnya akhirnya sampailah pada titik kebosanan.
Sambil matanya menatap langit ia menggerutu dalam hati “ aduh...MATI AKU.... jadi perempuan repot juga ya..... sebuah rutinitas yang membosankan”.
Tiba-tiba matanya melihat sekelompok awan yang berbaris merdeka di angkasa. “Wahai awan...kalian sungguh beruntung, berjalan tanpa beban, tertawa dan saling bercengkrama. andai saja aku bagian dari kalian....ck...ck...ck...tentu menyenangkan. Lalu berdoalah ia untuk dijadikan segumpal awan. Doa dikabul jadilah awan.
Kesempatan menjadi awan tidak ia sia-siakan sedetik pun. mulailah ia terbang jauh, menyatu dengan awan lain. “Woi....asiiiik......cihui....oi...di sini aku melihat hamparan bumi, lautan dan indahnya pegunungan semuanya menyenangkan...Cihuiiii”.
Lagi asik-asiknya melayang sesuai arah angin, tiba-tiba suhu udara berubah. Awan menggigil, membeku, mencair, jadilah hujan yang kemudian menerobos udara dan jatuh ke bumi menimpa batu besar di sebuah kali. “ Ala mak...sakit!!...MATI AKU....ternyata jadi awan tidak selamanya damai, terbang juga tergantung pada angin tidak sesuai keinginan. Dan ini....? sungguh peristiwa yang menyakitkan”. Batu disampingnya yang semula terdiam anggun di tepi kali tak kuat menahan tawa.
Melihat batu yang sepertinya mengulum tawa, sang awan yang berubah menjadi hujan itu tiba-tiba tertarik untuk menjadi batu yang diam di tempat dan tak mungkin jatuh. Kalaupun ada benda lain yang membenturnya, pasti yang merasa sakit benda itu, bukan sang batu. Bagaimana mungkin benda yang kuat, keras dan gagah itu merasakan sakit hanya akibat benturan kecil. “Tuhan jadikanlah aku batu, jadikanlah batu, jadikanlah batu...amin...” Doa dikabul jadilah batu yang diam di tepi kali tanpa aktifitas yang melelahkan. “Terimakasih Tuhan....sudahlah aku mau istirahat saja”.
Ternyata diam juga melelahkan dan membosankan, apalagi ketika terik matahari mulai menyengat tubuh, sebagai batu ia kaku tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bisa menghindar dan berjalan ke tempat yang lebih teduh. “ah....MATI AKU....kalau begini terus. Ini? apa ini yang hinggap di mukaku..?! aduh....bau sekali...huk hk..MATI AKU” Rupanya seekor anjing telah menjatuhkan kotoran diatas batu itu. “Dasar anjing gak punya aturan!!”.
Tapi di balik umpatannya itu, dalam hati ia tertarik juga dengan sebuah kehidupan tanpa aturan seperti seekor anjing yang kapan saja, dimana saja bisa makan apa saja, bisa berbuat apa saja; kencing, berak, tidur dan berhubungan dengan lawan jenis sekalipun. Berlari dan berjalan keluar masuk perkampungan “Wow...sungguh kemerdekaan yang merdeka...”
Tanpa harus menunggu malam ia pun berdo’a untuk kesekian kalinya..... singkat cerita, Doa dikabul jadilah seekor anjing jantan. Mulai ia menggonggong dan melolong-long untuk mencoba pita suaranya. Kaki kanan belakang diangkatnya....cerrr.....ternya bisa juga ia kencing gaya baru. Lalu untuk mengetest selera makannya ia berjalan ke tumpukan sampah. Wah...apa saja gurih, enak dan nikmat termasuk kotoran manusia, heh..mak nyuuuuss.
Mulailah ia dengan kehidupan baru sebagai anjing jantan. Berjalan di perkebunan dan di hutan tanpa ketakutan. Menyusuri lorong-lorong kampung sambil mencari sisa makanan. Setelah menempuh jarak perjalanan yang cukup panjang, tiba-tiba ia dikagetan dengan sekolompok orang yang sebagian memegang tongkat dan lainnya memegang batu. Rupanya si anjing jantan telah memasuki komplek pesantren. Para santri yang menilainya najis bermaksud mengusirnya dengan tongkat dan batu di tangan. Sementara anjing yang sebelumnya pernah bersentuhan sejarah dengan batu, kali ini merasa ketakutan. Larilah si Anjing yang kemudian dikejar dan dilempari oleh sekolompok santri. Anjing berlari sampai jauh keluar pesantren, napasnya tersengal-sengal, lidah menjuntai ke luar, ia merasakan capek dan takut yang luar biasa. “hah,,,hah....MATI AKU dari pada hidup penuh resiko menjadi anjing, lebih baik... hah... hah...aku ...jadi santri saja”.
Akhir cerita, ia sekarang menjadi santri di sebuah pesantren setelah semalaman mohon ampun dan berdoa.
Nah, anak-anak.... dalam hidup itu pasti ada tantangan, tidak boleh dihindari. Karena dimana pun tantangan itu akan selalu ada. Manusia tidak bisa bebas dari disiplin dan aturan. kalau ingin bebas ya..jangan di sini pergi saja ke hutan. Walau pun untuk hidup di hutan tetap ada aturannya. Maka jangan jadi pengecut!! jadilah pemberani yang disiplin dan siap menghadapi tantangan. Ingat “Pemberani matinya cuma sekali, sedang pengecut matinya berkali-kal”i. Begitula sang Kiyai menutup Khotbahnya.
Bandung, 18 Oktober 2008saya hanya menceritakan kembali apa yang saya dengar dari Khutbah sang Guru Besar. jadi Ini bukan karangan saya. tentu kurang original bahkan kurang seru.

Tidak ada komentar: