*)SEBAIT SAJAK TENTANG ACEH
Oleh; Cecep Suhaeli
Aceh, dulu engkau Serambi Makkah
Hilang Makkah
tinggallah Serambi
hilang ‘Bi” jadilah SERAM.
Sampai awak tak berani pulang
Sajak ini entah karya siapa, karena tidak kutemukan di berbagai Antologi puisi, Koran ataupun Majalah. Aku mendengarnya delapan belas tahun silam dari seorang kepala desa Pabelan, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.
Kebetulan kepala desa ini adalah Putra asli daerah Aceh. Ia seorang mantan Mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi terkenal di Bandung yang tak sempat jadi sarjana, karena lebih tertarik melakukan pengembangan Teknologi Tepat Guna bersama masyarakat. Ia lebih suka menancapkan bendera sederhana di tengah masyarakat, daripada harus mengecatnya terus menerus, memberi warna-warni, mencucinya berkali-kali, dan ketika saatnya ditancapkan, masyarakat belum tentu menerimanya, bahkan bisa saja mereka tumbangkan rame-rame, mereka cabik-cabik bendera kesarjanaan yang bertahun-tahun dibersihkan dan dimegahkan di Perguruan tinggi.
Tekad Putra asli daerah Aceh ini ternyata benar, bendera sederhana yang ia tancapkan buktinya diterima masyarakat, sampai akhirnya ia terpilih menjadi Kepala Desa sekaligus menjadi santri Pondok Pesantren Pabelan di Magelang Jawa Tengah. Mukhtar Abbas nama kepala Desa itu, yang disamping banyak membaca buku agama, ia juga hobi berpuisi dan membaca buku-buku pembebasan. Sampai suatu hari di sebuah pertemuan secara spontan dan komedian lahirlah sebait sajak diatas dari mulutnya.
Waktu itu, penafsiranku atas sajak tersebut sangat sederhana; Pertama, sajak ini sebagai protes seorang Putra daerah atas modernisasi yang terjadi di daerahnya sendiri dan cederung mengkikis budaya lokal, sehingga identitas “serambi mekkah” menjadi tinggal “serambi”. Kedua, sebagai sindiran kepada pemerintah yang tidak pernah beres dalam menangani gejolak Aceh, sampai akhirnya “serambi” sendiri berubah menjai “seram”.
Sudah delapan belas tahun. Artiya jauh sebelum badai tsunami melanda Aceh dan Sumatra utara, bahkan jauh sebelum badai reformasi melanda Pemerintahan Orde Baru, bait sajak ini masih tercatat lengkap dalam memori pikiranku, hapal di luar kepala, karena diam-diam aku mengaguminya. Namun selama itu pula kuabaikan ia, kuanggap sajak itu telah menjadi kepingan fosil, terkubur bersama masa silam.
Dua Puluh Enam Desember, ketika tragedi tsunami terjadi, ketika samudra berunjuk rasa, ketika banjir datang tanpa hujan, ketika orang-orang teriak dan berlari tunggang langgang, sajak itu hadir kembali dengan perkasa, menjelma dari masa silam, gentanyagan bagai arwah penasaran. Tanpa permisi Ia menggedor dan mendobrak pintu ruang kerjaku, masuk dan menghampiri computer, lalu memainkan keybordnya. Seakan ingin menunjukkan bahwa ia masih eksis dan kontektual, ia butuh pengakuan, butuh dimanusiakan.
Sambil tersengal-sengal sajak itu berbisik di telingaku “Lihatlah Aceh sudah sampai di ujung sajak. Ayo , tulislah !”.
Aku tak bisa menulis apapun tentang kejadian Aceh, tentang gempa dan badai tsunami, tentang anak-anak yang menjerit tanpa bapak disampingnya, tentang para istri tanpa suami yang berlari pontang-panting dan hilang entah kemana, tentang mayat-mayat tersangkut di dinding yang runtuh, tergeletak di tanah rencong tanpa darah tertumpah. Mayat yang makin lama makin membusuk dengan bagian tubuhnya terpisah dan terkelupas ketika dievakuasi. Keterbatasan kosakataku tak bisa menggambarkan kepanikan saudaraku di sana. Jadi aku tak bisa menulis apapun, termasuk tentang tumpah ruah air mata dan bela sungkawa yang mengalir dari penjuru negri.
Namum sajak itu kembali berharap, ia tarik jari tanganku, ia arahkan pada setiap hurup di computer :
“ Ayo tolonglah kawan, Tulis ! Aceh sudah berada di ujung sajak”.
“Tidak bisa. Aku bilang tidak bisa. Saat ini aku hanya bisa membaca dan mencerna berita. Sudahlah….Jangan ganggu! Aku sedang meng-amini do’a-do’a para tokoh agama untuk saudara-saudara yang tertimpa musibah. Aku sedang kagum pada empati saudaraku di negri ini, aku bangga dengan bangkitnya budaya tolong menolong tanpa meyalahkan siapapun, tanpa melihat agama dan suku apapun. Aku sedang mensyukuri konsiliasi nasional yang telah lama kurindukan. Lihatlah bantuan mengalir terus sampai tak bisa tertampung. Lihatlah rakyat ini mendadak sholeh dan baik hati. Bencana ini luar biasa, ia mampu menyadarkan jutaan rakyat Indonesia yang selama ini tidak bisa disadarkan oleh sekedar pidato dan tulisan. Aku berharap seperti Herosima dan Nagasaki yang kehancurannya justru menjadi awal kebangkitan”.
“Tulislah kawan, Please, Aceh sudah berada di ujung sajak”.
“Tidak. Tidak bisa. Lagi pula bagaimana mungkin aku percaya pada sajak sepertimu. Kau bilang serambi makkah telah hilang dari tanah Aceh. Aku bilang tidak! Tidak hilang, ia sedang mengembara, mengetuk hati semua orang yang selama ini terus bertengkar”
Tanpa diduga, sajak itu tiba-tiba marah. Menggeram. Suaranya berubah seperti peserta uka-uka yang kesurupan
“Hem…Tulislah! jangan banyak omong! Aku tahu sebenarnya apa yang ada di kepalamu”.
“Ah jangan sok tahu, aku sedang tidak mood untuk menulis” kataku sambil santai menghisap rokok.
“Tulislah”
“Tak bisa”
“Tulislah”
Sajak itu terus memaksaku, semakin marah, semakin geram. Ia hempaskan setiap benda, kertas-kertas beterbangan, buku-buku terlempar, meja dan lemari terguncang dahsyat, seperti ada gempa mendadak. Hampir saja ia menghancurkan komputerku, namun aku berhasil mencegahnya. Ku matikan rokokokku yang masih panjang. Aku mendadak panik, tapi masih sempat bertanya;
“Engkau bukan sajak! Siapa kau sebenarnya?”
Masih dengan suaranya yang menggeram, matanya merah, jalannya sempoyongan seperti yang sedang mabuk berat, ia berteriak sekeras halilintar; “Hem….Semula aku sajak, tapi kini akulah badai. Akulah samudra yang bertahun tahun menahan nafas. Akulah amarah semesta” .
Karena kaget dan semakin panik, bicaraku tiba-tiba gagap
“ ya….ya.. sa...sabar…Namamu siapa?”.
“Hem….Tsunami, tsunami! “
“Tsu...nami?”
“Ya !Dalam hitungan detik aku bisa saja melumatkan negri ini termasuk kamu dan anak istrimu”
Mendengar ancaman itu, aku gemetar ketakutan, apalagi ketika ia mengangkat ujung jarinya yang tiba-tiba membesar seperti jari raksasa dalam film kartun.
“Ayo kuhitung sampai tiga….”
Panas dingin mulai menyerang tubuhku. Karena siapa yang tidak takut berpisah dengan anak istri dalam kondisi yang mengenaskan atau kondisi yang tidak tentu, siapa yang hatinya tetap tegar melihat saudaranya timbul tenggelam di deras air, di amuk gelombang, sementara ia tak berdaya menolongnya. Aku bukan Ibrahim yang tetap tegar meninggalkan Hajar dan Ismail, istri dan anaknya di sebuah lembah yang tak ada manusia, buah-buahan dan juga air. Aku bukan seorang Ismail yang mampu berserah penuh kepada Tuhannya walau nyawa dipertaruhkan di ujung pedang Ibrahim ayahnya sendiri.
Kita memang sering kali panik mendengar ancaman sebohong apapun, pabila ancaman itu berkaitan dengan persoalan hidup dan mati. Kita tidak pernah tenang dengan sebuah ancaman bom umpamnya, walau yang meletus ternyata hanya sebuah mercon mainan anak-anak.
Kulihat anak istriku. Mereka sedang lelap tidur. Tidak sepertiku, mungkin mereka sedang mimpi indah, jalan-jalan di sebuah mall sambil membeli mainan dan baju baru “Alhamdulillah mereka tidak apa-apa” gumamku.
“Hem…..satu….”
Oh, dia mulai menghitung. Mengancam dan memaksaku menulis. Aku semakin panik, semakin tidak tahu harus berbuat apa.
“Dua………”
“Tunggu…tunggu….” Aku berusaha menghentikan hitungannya.
“Tig…..”
“Stop ! aku mau menulis” Sambil tergesa aku coba gerakkan jemariku. Entah ide dari mana tiba-tiba keluar huruf-huruf yang merangkai kata “S E A N D A I N Y A”
Spontan sajak yang menjelma badai tadi terbahak dan menghentikan amuknya. Aneh, buku-buku tertata kembali, kertas-kertas tidak lagi berserakan, benda-benda berhenti berguncang.
“Ha..ha…ha…Awal kalimat yang baik, kawan. Ya, pakailah kalimat “seandainya”. Katanya.
Seperti sang guru ia menuntunku menulis, dan entah dengan energi apa ia transfer seluruh “seandainya” yang ada di pikirannya ke ujung jemariku.
Seandainya dengan teknologi dan ilmu pengetahuan manusia, pemerintah melakukan peringatan dini, tanpa berfikir resiko kerugian bisnis pariwisata, mungkin korban dapat diminimalisir. Penduduk dapat ditampung dulu di tempat yang lebih aman, harta benda berharga bisa diselamatkan. Seperti pengumuman yang dilakukan Nuh berabad-abad silam pada umatnya.
“Ya Bagus, bagus. Ternyata kau bisa juga menulis. Teruskan, teruskan…”
Seandainya bencana terjadi ketika masa kampanye calon presiden berlangsung, tentu tidak hanya presiden terpilih yang datang menjenguk Aceh, masih ada beberapa pasang calon presiden lagi yang akan mengirimkan kado bela-sungkawa, dan jumlah bantuan bisa lebih melimpah. Seandainya pesawat perang negri ini digunakan untuk menghantarkan bantuan ke tempat yang tidak terjangkau oleh kendaraan darat, tentu tidak ada penumpukkan bantuan di posko-posko, dan kelaparan pasca tsunami segera tertanggulangi.
Aku berhenti. Karena tidak tahu harus menulis apa lagi. Kemudian sajak itu berbisik kembali sambil memandu jari-jariku:
“Bilang saja, kenapa hal itu tidak dilakukan?” –Sajak itu menuntunku bertanya.
“Apakah kita tidak memiliki peralatan semacam itu, ataukah tentara kita diam-diam berdecak kagum: Wah, Gila juga itu tentara GAM, punya Bom sedahsyat itu. Melebihi kedahsyatan bom WTC”
Ide-ide konyol sajak itu terus mengalir, terus mendikte tanganku dengan awal kalimat “seandainya”, semakin kacau, semakin gila, semakin tidak sesuai dengan etika dan kaidah penulisan. Maka sekuat tenaga aku berhenti menulis. Aku protes ia dengan sisa energi,
“Sudahlah, cukup. Aku tidak mungkin menulisnya”
“Teruslah kawan, Aceh sudah berada di ujung sajak”. Katanya masih dengan kalimat itu itu juga.
“Tidak bisa. Sekarang masih dalam situasi berkabung nasional. Tidak mungkin aku hancurkan semangat persaudaraan yang baru saja terjalin. Tidak mungkin aku berandai-andai melulu, karena itu tidak akan menjadi kado cinta buat saudaraku”
“Kado cinta? Ha ha ha mereka tidak butuh romantisme bunga-bunga, kawan. Mereka butuh kejujuran seperti sebait sajak. Ayo tulislah!”
“Sudahlah….sudah. Aku tidak mungkin menulis ini. Engkau sungguh keterlaluan; disaat orang membuang jauh-jauh rasa curiga, engkau malah menyuruhku untuk mencurigai pemungutan sumbangan peduli Aceh. Enyahlah kau!”
Tapi sajak itu tak mau pergi. Ia malah bernafsu untuk menyetubuhiku. Lalu kami bertengkar, adu mulut, adu fisik, saling dorong, saling banting, sampai akhirnya aku terkulai lemas di sudut ruang.
Dengan bebasnya ia mainkan keybord komputerku, tulisanpun mengalir dengan kata-kata prontal dan mengerikan. Tidak mungkin itu tulisanku. Tidak mungkin.
Bandung, 2005
Senin, 28 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
ruarrr biasa...
menyentuh
menyentil
memantik
membidik
dan...menggedor.
sebuah sajak imajiner yg natural.
aku tak punya kata-kata bagus untuk mengomentari dan berterima kasih.
Terima kasih, Cep. Semoga Dia terus memelihara potensimu yang luar biasa ini.
Dindin
semakin mendekati ambang senja, kamu makin tampak matang berkarya..Usia kita memang boleh menyongsong maghrib, tapi karya hendaknya tetap kita jaga laksana fajar menyingsing....setuju pak cecep !!!!
Terus berkarya...kita lintasi sahara ini dengan jejak-jejak karya kita, suatu saat anak cucu kita kan tahu bahwa nenek dan kakek moyang mereka ternyata ruarrrrrr biasa.....
wah sahara nih kumpulan para pujangga nih. Aceh menjadi "jadi" dengan bait-bait gundah hati kang cecep. Berkarya terus deh sahara yang bercahaya...salam dari leiden.
Posting Komentar