Aku ngert maut memang pasti datang. Maut sebagai sebuah mata rantai perjalanan hidup, setiap orang pasti melaluinya. Tak terkecuali aku. Bahkan, setiap makhluk bernyawa pasti mencicipinya. Ada yang lebih cepat lewat, ada pula yang belakangan. Cuma soal jatuh tempo, alias ajal.
Setiap orang, bahkan juga barang, menurut firman-Nya, punya ajalnya sendiri. Masing-masing sudah tertentu kapan jatuh tempo kematiannya. Ajal itu, bagi masing-masing, sudah diketuk palu. Ia tidak bisa diganggu gugat. Bagi ajal, tak berlaku usulan percepatan. Tidak pula penangguhan. Aku harus terus siaga menghadapinya sepanjang waktu. Aku harus siap menyambutnya setiap saat.
Lucunya, atau lebih tepat, celakanya, tidak selalu aku siaga. Tidak selalu aku siap. Banyak memang yang tetap bersiaga-diri menyadari maut. Banyak memang yang tak lalai dan tetap bersiap diri. Dan memang banyak yang sudah berada dalam kepasrahan penuh, sehingga siap menerima takdir maut kapanpun. Tetapi, tampaknya, perkara ajal maut ini, lebih banyak lagi orang yang lalai, tak siaga, dan tentunya tak siap. Ini terlihat jelas dari cara orang menjemput maut.
Beragam cara orang menjemput maut. Ada yang menjemputnya melalui jalur kepongahan. Sebagai misal, orang kebut-kebutan di jalan dengan besar-kepala ibarat jagoan. Salip sana salip sini. Senggol ini senggol itu. Tak peduli orang dongkol orang berang. Terus saja berkendara ugal-ugalan berniat unjuk kebolehan balapan. Ia tak lama 'braaak' menabrak dan tersungkur. Dengan amat cepat ia sampai "tujuan" alias maut. Ya, ia menjemput maut dengan cara kesombongan.
Pernah kabar tersiar, seorang dosen mati di pangkuan seorang wts. Jelas ini merupakan suatu cara menjemput maut melalui jalur perjinahan. Na'udzu billah. Ada juga melalui olahraga maut, tantangan ekstrem, perampokan, pertengkaran, tawuran, bahkan bunuh diri. (Fal'iyadzu billah dari itu semua.) Ini semua, dan cara-cara lain semisalnya, merupakan cara jemput maut yang terbilang ekstrem dan termasuk jalur cepat. Tidak banyak orang yang melaluinya. Dan tentu aku mudah saja menghindarinya.
Yang lebih berbahaya adalah cara jemput maut jalur lambat. Ini tidak ekstrem. Lebih banyak orang memilih jalur ini. Misalnya, orang membuang-buang usianya untuk kegiatan tak berguna. Bahkan sehari-hari sibuk dalam apa yang disebut Alquran sebagai la'ibun wa lahwun. Datanglah maut pada waktu dhuha saat mereka asik bermain-main lupa Tuhan. Datanglah maut tengah malam saat mereka terlelap tidur. Berhentilah berpikir bahwa dalam kasus semacam ini maut datang menjemput.
Hey! Ini bukan maut yang menjemput kita! Tapi, sebaliknya, kita yang menjemput maut. Inilah cara menjemput maut dengan kelalaian, kelupaan, dan kelengahan. Lalai tentang hidup. Lupa terhadap Tuhan. Lengah atas keselamatan diri. Justeru inilah cara menjemput maut yang banyak dipilih orang. Teruskanlah analogi ini pada beragam kemaksiatan dan kemunkaran. Saat bermaksiat, saat terlibat munkar, sesungguhnya aku sedang menjemput maut dengan kemaksiatan dan kemunkaran. Astagfirullah.
Tentu tak perlu disebut di sini bahwa ada juga yang menjemput maut dengan cara kebodohan semisal minuman keras seperti di Bolaang Mongondow tahun lalu dan Indramayu Ramadhan yang baru lalu. Tak perlu pula disinggung cara menjemput maut dengan narkoba. Ini tak perlu disebut karena memang sudah jelas-jelas merupakan cara menjemput maut yang super jahil.
Cukuplah di sini digarisbawahi bahwa sejatinya kita semua sedang menjemput maut. Baik sadar atau tidak. Orang menjemputnya dengan cara masing-masing. Kita musti menjemputnya dengan cara elegan. Berharap kita mati tersenyum. Amin.
Dindin
Bandung
Kamis, 11 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Semoga tulisan yang menggugah ini menyadarkan kita semua.....amin.
Posting Komentar